assalaamu’alaikum wr. wb.

Kebanyakan orang yang menyatakan dirinya ‘belum siap menikah’ menjadikan penghasilan sebagai alasan dari ketidaksiapannya. Karena merasa belum mapan dan belum bisa menanggung kehidupan keluarga, maka ia merasa belum mampu untuk menikah. Menariknya, kebanyakan orang yang menyatakan dirinya ‘siap nikah’ pun ternyata menjadikan penghasilan sebagai alasan dari keyakinannya. Ia sudah memiliki pekerjaan tetap dengan gaji yang bagus, dan karenanya ia merasa yakin telah mampu berkeluarga.
Siap atau tidak siap itu sangat relatif. Yang menarik adalah bagaimana sebagian umat Islam menjadikan faktor finansial sebagai acuan bagi kesiapan menikah. Tentu ada benarnya pendapat yang mengatakan bahwa faktor ini bisa mempengaruhi kesiapan menikah, terutama bagi laki-laki. Tapi tidak tepat juga kalau dikatakan bahwa hanya faktor inilah yang menentukan kesiapan tersebut.

“Kamu sudah siap menikah?”

“Insya Allah siap. Alhamdulillaah sekarang saya
sudah punya pekerjaan tetap dan saya rasa gajinya mencukupi untuk keperluan sehari-hari keluarga.”

“Apa yang akan kamu lakukan dengan anak dan istrimu nanti?”

Biasanya dialog akan terhenti di sini karena yang ditanya merasa pertanyaannya kurang jelas. Sebenarnya pertanyaan ini cukup sederhana saja. Pertanyaannya : apa yang akan kita perbuat dengan anak-istri kita? Pertanyaan ini perlu diajukan untuk menyelidiki visi seseorang tentang sebuah pernikahan.

Gerangan apakah pernikahan itu? Apakah sekedar memilih pasangan hidup yang tampan dan cantik? Apakah sekedar pelarian untuk memuaskan kebutuhan biologis? Apakah sekedar untuk mencari teman curhat permanen? Atau sekedar coba-coba? Semua itu bisa dijawab kalau kita memiliki sebuah visi yang jelas perihal pernikahan. Sebagai seorang pemimpin dalam keluarga, maka laki-laki dituntut untuk memiliki visi yang jelas.

Dalam Islam, keluarga bisa membawa manusia kepada dua ekstrem. Jika kita membina keluarga dengan baik dan semua anggota keluarga tersebut menjadi saleh, maka sudah pasti surga akan menjadi tempat berkumpul keluarga kita kelak. Sebaliknya, kalau kita rajin melaksanakan amal-amal saleh pribadi namun mengabaikan keadaan anak-istri kita, maka bisa jadi kita akan ikut diseretnya ke neraka. Kita berdoa semoga seluruh anggota keluarga kita bisa saling tarik menuju surga.

Sekarang, masalahnya jauh lebih kompleks daripada sekedar penghasilan. Seorang laki-laki harus sadar bahwa melangkah kepada pernikahan berarti membebani dirinya sendiri dengan sebuah tanggung jawab yang besar, yaitu tanggung jawab pendidikan. Ia wajib memikirkan dengan serius tentang kemampuannya mendidik anak-istrinya kelak. Otomatis, ia pun harus memikirkan keadaan dirinya terlebih dahulu. Bagaimana mungkin orang yang tidak terdidik bisa mendidik orang lain?

Jadi, masalah pertama yang harus dipikirkan adalah keadaan diri sendiri. Sudahkah kita menjadi laki-laki yang saleh? Sudahkah kita terbiasa melakukan shalat berjamaah? Sudahkah kita membaca Al-Qur’an secara teratur setiap harinya dengan bacaan yang baik? Sudahkah kita membiasakan tersenyum dan bertutur kata sopan dengan orang lain? Sudahkah kita melaksanakan shalat malam secara rutin? Sudahkah kita memahami ajaran-ajaran Islam? Sudahkah kita mengenal Allah dengan baik?

Kedengaran berlebihan? Tentu saja tidak. Ketika kita membesarkan anak, maka kita harus paham bahwa pengajaran agama sepenuhnya adalah tanggung jawab kita, bukan sekolah. Sudah banyak bukti bahwa pelajaran agama Islam di sekolah sangat jauh dari cukup. Jangan merasa siap menjadi orang tua jika belum siap menjadi pendidik!

Bagaimana dengan istri? Justru masalah inilah yang harus dipikirkan terlebih dahulu, karena istri (tentu saja) hadir lebih dulu daripada anak. Bagaimana cara mendidik istri? Sudahkah kita memahami keadaan psikologis perempuan (yang jelas berbeda dengan laki-laki)? Sudahkah kita memahami kecenderungan-kecenderungan mereka? Sudahkah kita membuat rencana bagaimana harus mendidik istri? Sudahkah kita merencanakan untuk membiasakan shalat malam berjamaah? Sudahkah kita berpikir bagaimana mencegahnya agar tidak ikut-ikutan bergabung dalam forum gosip tetangga? Sederet pertanyaan lainnya akan segera bermunculan jika kita membuka pikiran kita, insya Allah.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk menakut-nakuti saudara-saudara yang telah siap menikah. Justru saya berharap mereka yang akan segera menikah segera mengevaluasi lagi kesiapannya dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan sebelum hari ‘H’ itu tiba. Laki-laki yang siap menikah juga harus siap menjadi kepala keluarga, pembuat keputusan, pendidik, pemimpin, pemberi rasa aman, suri tauladan, suami dan ayah yang baik. Adapun bagi mereka yang belum siap, hanya ada satu kata : Siapkanlah!

Saya juga sedang bersiap-siap.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Jejak Dengan komentar Yang Baik

 
Top